24.2.11

W a j a h S e r u p a P u i s i


Langit menggantung pekat dibubuhi titik-titik, bersinar, putih, serupa melati ..dan kau, terlihat sama. Sebelum malam habis, kamu masih saja memanja ..Tidak henti-henti menggodaku dengan sayup mata lentikmu, serupa hujan, tenang rasanya disirami tatap yang juga meneduh.

“apa masih ada puisi untukku?”
“hemm..bukankah setiap hari sudah aku berikan?”
“aku ingin lebih..”
“setara seribu?”
“lebih !!”
“baik. kalau begitu, tunggu saja..”
Meski tidak kamu minta, sudah lebih dulu sebelum bulan senja pada langit barat terlihat, sedia aku beri. Di bawahnya, samar-samar suaramu menuntun pena, mengores-gores dengan hati-hati. Aku mulai men-sketsa wajah putih berbalut kain tahta mutiara. Tunggu saja sampai kau lihat. Aku ingin dengar kau bertanya ..
“ini. puisi lebih seribu untukmu ..”
“coba lihat ..” ... “bukankah ...? ini gambar aku kan?”

Dengar dan diam, sambil mencermati pipinya yang tiba-tiba memerah, hal yang paling aku suka. Aku lebih bisa mengerti hanya dengan mendengarkan.

“wah..wah..wah..” “aku cantik sekali..” –tersipu-
“buatanmu kah?” “lalu kertas untuk puisinya mana?”
“semua, sudah ada di dalamnya ..” –datar-

Dia mengagumi berarti dia mengerti. Aku tidak perlu menjelaskan. Pemberianku telah “menyamai” dengan yang aku janjikan. Makanya dia tidak lagi bertanya. Tentu tidak sekenanya. Jikalau segala cinta bisa tercipta lewat puisi-puisi, maka ..wajahnya serupa seribu puisi.









0 comments:

Post a Comment