15.2.11

Sugeng Pinanggeh, Jogja!

catatan perjalanan 27.05—17.06/2010


Penat juga rasa seperti ini, menjadi orang bingung menunggu pasti. Cuaca silih berganti, awan bawa hujan hampir setiap hari, datangi di langit dan atap-atap rumah yang sama. Gerah, dan. Saya butuh rehat sepertinya. Biar tidak mendidihkan darah di kepala, biar tidak membosankan alur waktu yang seakan berjalan gontai tak bergairah. Terbersit untuk berjalan-jalan di dunia maya. Mengintip “yang dipikirkan sekarang” teman-teman yang hampir semuanya masih maya.

“ let’s do something nasty .. in the end of the month; rafting in progo; caving in ngepoh (230m), pule’ ireng (195m), just 2 of us ”


“boleh jg tuh, kapan dha?” ku rangkai kata dalam kotak ‘comment’ ..


“besok. It’s long weekend u know??” 1 Notiffication : Yudha has comment his status ..


“ok. besok dikonfirmasi ..” –bersambung dalam abjad digital sms-
Hmm,, Jogja! Bagaimana kalau saya bawa kamu ke sana tubuhku? Seutas harap bisa menyenangkanmu sejenak. Pun matahari juga ingin ikut serta andai tak punya kewajiban melintasi orbit yang itu-itu saja. Tubuh ini tak coba menjawab dengan bahasanya,, saya menebak, sepertinya itu tanda Setuju!

Kamis. 27.05.’10 (Stasiun K.A Senen, Jakarta) Ternyata bukan 2, tapi 5 of us. Kami berkumpul di stasiun K.A Senen Jakarta, menunggu pemberangkatan malam untuk pukul 21. Malangnya, semua tiket terjual habis. Tiket yang mau pakai kursi maupun yang mau pakai kaki. Maklum liburan panjang seperti ini memang dimanfaatkan untuk pulang ke kampung halaman para pelajar ataupun pekerja yang mengadu otak dan nasib di Jakarta. Setelah berunding, keputusan untuk tidak menjadi sia-sia di tempat ini adalah menjadi ‘penumpang gelap’. Bukan penumpang berkulit gelap maksud saya. STOP for RACISM!! Tapi, meluangkan sedikit waktu untuk berbicara baik-baik pada bapak pemeriksa tiket agar mau memberikan kami kesempatan menjadi penumpang. Urusan tiket, nantilah kita atur diatas. Mungkin akan sedikit over budget pikir kami. Menambah uang dari tafsir harga semestinya. Sebuah nilai yang pantas demi sebuah kepuasan dengan sebuah pengorbanan. Ber-desakan, ber-panasan, ber-debuan, juga ber-gantian menikmati lantai kereta ber-alaskan koran., dan.., Jogja, i’m coming!!

“perjalanan akan berapa lama, dha?” saya bertanya sambil mengkipas-kipas baju yang mulai basah ..


“sekitar 10 jam-an, van” jawab Yudha teman dari Grahapala Rinjani UNRAM


“Hufffttt …” saya menghela nafas panjang sambil mengernyitkan dahi. Perjalanan ini harusnya menyenangkan, pikirku .., saya mesti bersahabat dengan kondisi ..

Lamat-lamat perlahan menuju cepat yang konstan, kereta berangkat menembus kabut malam. Stasiun kereta perlahan tertinggal seperti berlari mundur. Juga gedung-gedung tinggi Jakarta, rumah-rumah, sawah-sawah dipinggiran kota, hingga akhirnya hanya gelap yang mengintip di kanan-kiri jendela yang terbuka tak begitu lebar. Angin menisik, membelai-belai, menguapi keringat ..

Jumat. 28.05.’10 (Stasiun K.A Tugu, Jogja) Matahari sudah tinggi beranjak dari waktu yang semestinya disebut pagi. Setelah turun dari kereta, dari dalam stasiun bisa terlihat hiruk-pikuk sekitar stasiun yang tidak begitu ramai. Yang katanya ramai hanya ketika ‘’malam’’ hari. Saya mengusulkan kepada teman-teman untuk naik ‘delman istimewa’ ke tempat singgah sementara di jl. Kenekan (1). Maklum, selain baru pertama ini menginjakkan kaki di kota istimewa Jogja, saya juga ingin merasakan naik delman istimewa. Sembari melihat-lihat isi kota dan kesibukannya, berlagak bak pengangguran yang sedang liburan.


Tempat singgah pertama adalah kediaman mas Cahyo. Bapak yang bernama lengkap Cahyo Alkantana, M.Sc, yang juga adalah Ketua Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (HIKESPI). Di sana, saya dan teman-teman manfaatkan untuk beristirahat. Rasa lelah dan kantuk sedikit terobati. Hingga menjelang sore, kami menyempatkan diri bercengkrama dengan secangkir kopi dan teh hangat sambil bertukar cerita tentang banyak hal. Terlihat seperti reuni Speleo Camp 2007. Sebuah acara yang terkategori pemecahan rekor nasional, yaitu upacara bendera menyambut hari kemerdekaan RI di bawah perut bumi (± 270m) oleh sekitar 100 caver dari seluruh Indonesia, bertempat di salah satu gua terdalam di Indonesia, Poros Maros-Camba Sulawesi selatan, Leang Pute. Sehabis magrib, Lancar, teman dari Pallawa ATMA JAYA mengajak berjalan-jalan. Berjalan-jalan dalam arti yang sesungguhnya. Ya, memang harus begitu, selain karena tidak punya kendaraan, juga karena kota Jogja diberlakukan larangan untuk angkutan umum di malam hari, kecuali becak, andong, taksi, ojek dan TransJogja (2) tentunya, yang masih bisa dipakai sebagai alat transportasi hingga pukul 9 malam.


Foto : Monumen Serangan Umum 1 Maret

Tujuan pertama kami adalah Monumen Serangan Umum 1 Maret. Sekitar 20 menit dari Kenekan bila berjalan kaki, dekat alun-alun lor (utara) kraton. Monumen yang didirikan untuk memperingati serangan umum 1 Maret 1949 di kota Yogyakarta di bawah pimpinan Jendral Sudirman ini adalah simbol perlawanan sekaligus pembuktian kepada dunia Internasional bahwa rakyat Indonesia beserta TNI masih ada dan masih kuat. Begitu yang saya tahu dari buku sejarah sewaktu masih duduk di bangku SMP. Meski bukan malam minggu yang katanya malam yang panjang buat pacaran, malam itu cukup panjang, maksud saya cukup ramai. Di monumen sendiri sedang ada acara pagelaran musik yang bertem a “Stop Global Warming!”. Maka berbondong-bondonglah kawula tua dan muda ikut meramaikan tempat di sana. Hanya kami tidak bisa berlama-lama, maka kami sepakat berjalan-jalan di kawasan Malioboro. Jalan yang sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan tangan juga lesehan yang menjual makanan khas Jogja. Tempat yang sering dijadikan sebagai tempat berkumpulnya para seniman ini, juga merupakan salah satu tujuan para wisatawan mencari oleh-oleh. Setelah lewat tengah malam, kami memutuskan untuk menuju sekretariat KPALH Setrajana FISIPOL UGM, di sana tentunya untuk bersilaturahmi sekaligus numpang rawat dan inap ;D

Sabtu. 29.05.’10 Keesokan paginya, Yudha, mengajak saya untuk mencari sarapan sembari perkenalan kampus. Karena letak kantin kampus yang bersebelahan dengan Gelanggang (unit kegiatan mahasiswa), sekalian saya diajak ber-silaturahmi dengan teman-teman MAPAGAMA UGM dan teman-teman Unit Selam UGM yang memang sekretariatnya bersebelahan. Sedang ada persiapan untuk acara selamatan atau syukuran pernikahan esok hari, mungkin ada yang bisa kami bantu. Termasuk membantu ‘menyemangati’ teman panitia mempersiapkan acara. Hari itu saya menghabiskan hari di sana, mencoba perkenalan lebih jauh, juga dikarenakan hujan hari itu tak kunjung reda.

My First Rafting!!

Minggu. 30.05.’10 Pukul 8 pagi, teman-teman d i MapaGama sudah bersiap berangkat ke lokasi. Rencana fun rafting di sungai kisik, di daerah progo hari ini. Adalah acara syukuran pernikahan kedua mempelai senior MapaGama, yang dilangsungkan di sana, lalu sebagai hiburan diadakan fun rafting untuk para kerabat yang datang. Setelah sesi makan siang, tiba-tiba kepala terasa berat. Mungkin karena kurang tidur akibat begadang semalam. Mungkin baiknya biar rasa kantuk terobati, saya harus ikut sesi ini! Apalagi sedari tadi, Enggar, seorang senior dan mantan Ketua MapaGama sedikit memaksa untuk mencoba.
Setiap orang yang ingin ikut rafting hari itu dibagi 3 kelompok sesuai dengan warna stiker yang dibagikan sewaktu mengisi buku tamu. Sudah ter sedia mobil untuk membawa kami ke tempat start sekitar 30 menit dari tempat tadi.

Senin. 31.05.’10 Akibat kurangnya olah raga dan olah nafas, pengalaman rafting kemarin berhasil membuat pegal seluruh badan. Tukang pijat maupun fisiotherapist sepertinya tidak masuk dalam solusi, hari ini cukup dengan mengurangi jalan-jalan juga bergadang. Sehari ini saya dan Yudha berdiam dulu di sekret Mapa UGM, biar besok bisa fit lagi,, bisa jalan-jalan lagi,, (bisa liat-liat cewek jogja lagi :D)

Selasa. 1.06.’10 Setelah cukup lama tertunda, akhirnya datang juga waktu buat latihan dan sedikit penyegaran tehnik SRT (Single Rope Tehnik) di gedung kuliah Fakultas Humaniora UGM. Madha, teman dari KAPALA Sastra UGM mengajak kami ikut latihan bersama, yang memang rutin dilakukan setiap minggunya oleh te man-teman yang tergabung dalam Arisan Caving Yogyakarta (ACY). Sedari sore hingga larut malam, sudah cukup bagi saya melampiaskan kecamuk adrenalin yang sudah 3 tahun ini bebas tugas.

Rabu. 2.06.’10 Hari ini sudah harus bersiap menuntaskan tujuan semula. EXPLORE THE CAVE!! Sebentar malam kami berangkat. Sementara itu, menunggu kepastian peralatan yang dibawa, juga teman-teman yang ikut serta, selepas Isya, Madha mengajak saya ber-kuliner, mencoba makanan khas Jogja, Gudeg, lalu setelahnya nangkring di alun-alun lor Kraton menikmati secangkir Ronde dan suguh an wajah ayu para gadis-gadis Jawa yang hilir-mudik di tempat itu. (wuihh,,senang’e ..)

Kamis. 3.06.’10 Kamis dini hari, dari Kenekan kami ber-5 berangkat menuju Gunung Kidul (3), Semanu-Jogja. Yudha, Madha, Kondim, Sabrina, dan saya sendiri. Menuju basecamp HIKESPI di sana, dan tiba di subuh harinya.

Jumat. 4.06.’10 Hujan di pagi hingga tengah hari hampir saja membatalkan niat. Tapi akhirnya, wajah memelas matahari sore bersinar, menguning rata di dataran barat Gunung Sewu.



Foto : Entry Luweng Gng Bolong (vertikal ± 120m) dengan keterdapatan sungai bawah tanah

Sore sekitar pukul 15.30, kami bersiap menuju Entry (mulut gua) yang berdiameter sekitar >15m. Dari basecamp mungkin hanya 15 menit. Setiba disana, Kondim, rekan dari TasikMalaya Caving Community (TCC) mulai memasang lintasan tali (rigging). Hingga maghrib, lintasan belum dapat dituruni. Tali yang dibawa masih kurang dan harus ditambah sekitar 50 mtr lagi. Baru setelah Isya, lintasan baru siap dituruni. Saya butuh waktu sekitar 30 menit untuk decending (tehnik menuruni lintasan tali). Terasa agak sulit karena sedikitnya pengalaman caving di malam hari juga alat penerangan yang saya bawa seadanya. Ketika tiba di bawah kedalaman ± 120m, sosok gelap dan sunyi langsung menemani. Apalagi malam jumat, jadi lengkap sudahlah ketakutan yang menjadi-jadi. Rasa tidak sabar menunggu ditemani di tempat itu. Berselang waktu yang hampir sama, akhirnya Sabrina, teman dari Agra Witaka bisa sedikit melegakan napas. Lalu Madha yang menyusul kemudian. Kami bertiga sepakat untuk jelajah gua ini lebih jauh. Menyusuri sungai bawah tanah yang mengalir sekitar 30m sebelum mencapai bagian gua yang sudah dipenuhi oleh air. Sebuah nostalgia tersendiri bagi saya. Menyusuri sungai-sungai bawah tanah di kawasan karst Maros dan Pangkep sewaktu penelitian tentang hidro-geologi karst untuk tugas akhir.

Keterdapatan sungai bawah tanah di daerah karst adalah akibat air hujan dari atas permukaan yang terkumpul di dolina (morfologi yang terbentuk di permukaan, dari karstifikasi pada kawasan batuan karbonat) lalu tersalurkan ke dalam sistem rekahan batuan. Biasanya, air dalam lingkungan endokarst (air perkolasi/di bawah permukaan) terkumpul dalam satu sampai beberapa saluran (conduit) yang akan bermuara membentuk aliran bawah tanah (sungai bawah tanah).

Dini hari, sekitar pukul 02.30, kami naik ke permukaaan secara bergantian, saya, Madha dan terakhir Sabrina yang kebagian tugas untuk cleaning pedding (4) dan tali sepanjang ± 150m, ditarik dari atas oleh kami berempat. Setelah semuanya beres, kami menuju basecamp. Bersiap untuk istirahat sambil menunggu pagi. Ketika lama menunggu hujan reda yang memang turun sedari pagi, kami kembali ke Jogja sekitar sore harinya. Rencana untuk menyusuri gua Grubug dan gua Seropan harus dibatallkan. Cuaca belum bisa bersahabat sekarang ini, mungkin nanti di waktu lain.

Sabtu. 5.06.’10 Tujuan saya kali ini adalah Pantai Parangtritis. Setelah berbincang lama dengan Wida salah seorang anggota senior KPALH Setrajana FISIPOL UGM di sebuah warung kopi, akhirnya dia mau mengantarkan saya mengunjungi pantai pesisir Samudra Hindia itu. Tepatnya di daerah Bantul, kurang lebih 25 kilometer di sebelah selatan kota Yogyakarta yang merupakan salahsatu tempat wisata yang ada di sana selain pantai Glagah, pantai Samas, pantai Baron dan masih ada beberapa lagi pantai yang sering dijadikan objek wisata. Tapi hanya pantai Parangtritis yang mempunyai keeksotisan tersendiri. Di sana kita bisa melihat ombak-ombak besar bergulung saling berlomba mengejar pasir tepi pantai. Hanya saja saya tidak bisa mengabadikan semua pemandangan yang ada di sana karena tidak membawa kamera. Dari situ saya tahu, ada juga pantai yang bernama Parangkusumo, yang konon di sanalah tempat pertemuan Raja Yogjakarta dengan Ratu laut selatan yang biasa dikenal dengan nama Nyai/Nyi Rara Kidul. Adalah Panembahan Senopati, yang disebut sebagai raja pertama yang menyunting Ratu Kidul. Lalu oleh penduduk setempat percaya bahwa sang ratu bisa menjaga keselamatan para nelayan dan meningkatkan penghasilan mereka, maka di setiap tahunnya diadakan acara sedekah laut atau sesembahan yang diperuntukkan dengan sesajen ataupun dengan tarian Bedaya Ketawang yang berasal dari Kraton Kasunanan Surakarta. Sungguh unik budaya dan mitos masyarakat di sini. Setidaknya, sejarah atau asal-usul tempat ini bisa menambah daftar pengetahuan yang saya dapat dari liburan.

Minggu. 6.06.’10 Keesokan harinya, masih dengan Wida, saya diajak menggunjungi tempat yang katanya “sama saja belum ke Jogja kalau tidak ke tempat ini”. Istana Air, Pasanggrahan TamanSari (Water Castle). Sebuah kompleks Istana yang masih berada dalam lingkungan Kraton Yogyakarta. Di dalamnya terdapat Pasanggrahan yaitu tempat yang digunakan untuk beristirahat bagi Raja dengan selir-selirnya. Juga Sumur Gemuling yaitu tempat yang dijadikan rumah ibadah umat muslim berbentuk bundar dengan dua tingkatan lantai. Menurut seorang penjaga di situ, lantai bagian atas diperuntukkan untuk laki-laki dan perempuan untuk lantai bagian bawahnya. Di tengahnnya terdapat sumur berbentuk kolam yang dahulu dipakai untuk menyucikan diri atau berwudhu. Sayangnya sekarang ini kolam tersebut sudah kering. Dengan bentuk yang melingkar, maka suara yang dihasilkan akan menggema (gemuling), memantul di dinding-dinding hingga suara imam bisa di dengarkan oleh seluruh jamaah yang beribadah. Untuk itulah tempat ibadah ini dinamakan ‘sumur gemuling’.


Foto : Sumur Gemuling yang terdapat di Pasanggrahan TamanSari dan sudah ditetapkan sebagai situs Cagar Budaya oleh pemerintah.

Sebentar lagi hari sudah mulai gelap. Ribuan bintang sudah mulai ber-titik-titik di atas sana. Lagi-lagi, cuma waktu lain yang bisa membawa saya kembali ke sini. Dengan vespa hijau kepunyaan Wida, kami meninggalkan Pasanggrahan TamanSari mencari tempat bercengkrama, yang sebagaimana sudah menjadi kebiasaan para ‘petualang’, melepas lelah dengan atau bertukar cerita, mengungkit-ungkit pengalaman yang baru saja terlewati ditemani secangkir kopi panas sambil mencicipi makanan khas daerahnya. Dan di kota ini, tidak sulit mendapatkan tempat seperti itu. Semesta kopi café, menjadi tempat melampiaskan dahaga itu. ('‘’-‘’)Y

Sekitar empat hari (7-10.06.’10), saya hanya menghabiskan waktu di kampus Gajah Mada. Saat itu memang sedang musim liburan kampus menunggu penerimaan mahasiswa baru. Terlihat beberapa unit kemahasiswaan yang mengisi liburan dengan berbagai kegiatan. Di Fakultas Humaniora sendiri sedang diadakan pameran arkelogi. Dari pernak-pernik, anyaman bambu, foto-foto, juga replika gua pra sejarah. Adapun waktu lain saya menyempatkan diri ke salahsatu perpustakan yang ada di sana, Literati. Saya menikmati suasana seperti itu, apalagi mengingat-ingat masa perkuliahan dulu. Mengisi liburan dengan berbagai kegiatan kampus atau, pun hanya nongkrong dengan beberapa teman angkatan yang juga menjadikan kampus sebagai tempat liburan.

Jumat. 11.06.’10 Tepat di minggu kedua saya berada di kota ‘gudeg’ ini. Saatnya kembali mengisi liburan. Madha berencana mengajak beberapa anggota baru Kapala untuk perkenalan caving di daerah Dusun Blimbing; Desa Umbulrejo; Kec. Ponjong, Gua Cokro, juga Gua Seropan. Dan saya di ajak ikut serta. Seperti perjalanan yang lalu, perjalanan kami lakukan malam hari sekitar pukul 11 malam sampai tiba sekitar pukul 2 dini hari.


Foto : Entry Luweng Cokro (vertikal ± 20 meter) dengan kondisi berlumpur tanpa keterdapatan sungai bawah tanah.

Setibanya di sana, para anggota baru Kapala langsung menjalankan instruksi untuk membuat tenda, juga rigging oleh dua lainnya. Kali ini kami ber-6, rencana menghabiskan malam dengan bertamasya di bawah perut bumi. Yang di bawah sana, memang tidak begitu luas dan panjang, tapi beberapa stalaktit-stalakmit yang terbentuk melalui proses panjang selama puluhan bahkan ratusan tahun akibat adanya proses penetesan air yang melewati celah atau rekahan batuan yang tersusun dari batuan sedimen gamping/karbonat aktif mengalirkan air dari pori-pori batuannya, yang merupakan cikal bakal pembentukan keindahan ornamen-ornamen di dalam gua. Tidak lama kami menjelajah di bawah sana, beriringan dengan suara azan subuh berlalu dengan sambutan sinar matahari pagi yang menembus di kedua mulut gua cokro, kami memutuskan untuk cleaning. Saya tidak sabar untuk berada di atas demi melihat pagi dan merasakan belaian halimun Gunung Kidul, yang sudah mulai turun tidak lama setelah kami memasuki gua cokro.


Foto: Tenda seadanya untuk istirahat

Sabtu. 12.06.’10 Sepanjang pagi kami pergunakan untuk istrahat, sebelum hujan yang mengguyur di siang harinya memaksa kami untuk berteduh di bawah tenda yang dibuat semalam. Kegiatan masak memasak untuk mengisi perut pun dilakukan di bawah tenda yang sudah mulai kemasukan air. Hujan yang demikian deras, ternyata tidak menyurutkan semangat mereka yang baru pertama kali menjejakkan kakinya di bawah tanah. Rokok untuk penghangat, bermacam makanan ringan, juga seduhan kopi sudah cukup sebagai hidangan penutup, sambil kami menunggu hujan reda.


Hujan masih rintik, turun satu-satu seperti helai-helai benang tipis berjatuhan, setelah kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sebelum maghrib. Butuh sekitar dua jam untuk sampai di basecamp rumah penduduk. Tepat pukul 20, setelah istirahat sebentar, dan berbincang-bincang ringan dengan pemilik rumah yang juga adalah orang yang dipercayakan untuk memegang kunci masuk gua, kami berangkat menembus hujan, kembali mengisi separuh malam di kegelapan gua seropan (5).


Pipa PDAM sudah terlihat sejak baru pertama kali masuk ke mulut gua. Ada bagian lantai gua yang sudah di beton hingga ke bendungan. Sungai bawah tanah yang terdapat di sini sepertinya sudah termanfaatkan sejak lama. Tidak jauh dari situ, fosil-fosil purba mulai terlihat tergerus-gerus arus sungai. Sepertinya fosil-fosil ini terbawa oleh arus sungai di atas permukaan. Tidak heran kalau tempat ini sudah menjadi tempat penelitian para mahasiswa yang membidangi minat Arkeologi. Penyusuran pun menjadi agak lambat, kami tertarik untuk menemukannya lebih banyak. Hingga tak terasa ketika kami sudah sampai di sebuah air terjun. Kali ini akan sedikit berbeda. Kami akan menuruni air terjun dengan sedikit tambahan adrenalin dan tehnik decending melewati intermediate. Tidak berapa lama penyusuran pun harus di sudahi, karena melihat kondisi debit air yang mulai tinggi. Hal itu demi menghindari naiknya air sungai tiba-tiba. Kami segera kembali menuju bendungan, menikmati masakan dan sedikit bekal yang dibawa.

Minggu. 13.06.’10 Saatnya kembali menikmati waktu dengan istirahat atau sedikit hiburan. Kebetulan pentas Piala Dunia sudah berlangsung, maka rasa haus akan nongkrong di tempat yang menyediakan fasilitas nonton bareng pun mendahaga. Greenz café, adalah tempat yang kali ini sempat saya kunjungi. Setidaknya kepenatan dan kegundahan hati bisa sedikit terobati di situ. Dan di tempat itu juga, saya mendapatkan ajakan mengunjungi Candi Borobudur esok hari. Tempat wisata yang pernah termasuk dalam 7 Keajaiban Dunia ini juga terdaftar sebagai tempat yang harus saya kunjungi selama berada di sini.

Selasa. 15.06.’10 Siang yang cerah, untuk jiwa yang tak kenal lelah, saya menuju ke arah Barat laut dari kota Yogyakarta, kota Magelang, Jawa Tengah sekitar 40 km jauhnya. Dalam perjalanan, pikiran saya membayangkan kemegahan Candi Borobudur. Candi yang diperkirakan didirikan tahun 800-an Masehi oleh penganut Budha Mahayana ini, sejak puluhan tahun lalu sudah seperti ombak perdebatan ilmiah tentang sebuah hipotesis yang menyatakan Candi Agung ini dibangun di tengah sebuah telaga/kolam. Begitupun nama Candi Borobudur, yang tak lepas dari berbagai definisi asal-usul penamaannya. Perjalanan kali ini dengan santai saja, mengingat beberapa daerah yang saya lalui termasuk pengalaman baru yang tidak boleh dilewatkan. Tiba di sana, ternyata sedang ramai oleh pengunjung. Liburan sekolah mungkin salahsatu sebabnya para wisatawan lokal yang kebanyakan pelajar dan turis mancanegara menjadikan Candi Borobudur sebagai tempat wisata yang tujuannya pasti tidak berbeda jauh denganku. Sambil menunggu antrian wisatawan yang datang berkunjung, saya memberi keleluasaan pada kekagumanku untuk menata pandangan dari jauh. Memandangi bangunan ‘bunga padma’ yang kokoh tapi anggun. Dari tempatku duduk, Borobudur menyerupai Mandala, yang dalam kosmologi Buddha melambangkan alam semesta. Yang unik dari relief bangunannya, Borobudur (6) mempunyai cerita-cerita (7) tersendiri untuk setiap letak dinding dan langkan yang berada di setiap tingkatnya.

Sengaja saya memilih antrian paling belakang. Setidaknya, sambil mengelilingi tingkat-tingkat Borobudur, saya bisa menghabiskan waktu dengan menyaksikan detik-detik tenggelamnya matahari. Tidak cukup lama, sebelum akhirnya kilau keemasan matahari menandakan siang sudah hampir habis itu datang juga. Kemuning dan warna jingganya menyapu lembah Gunung Merapi yang terlihat perkasa di kejauhan. Jam pengunjung juga sudah berakhir. Dari arah timur mendung memayungi kota Jogja. Saatnya pulang membawa kenangan dan cerita. Semoga ada waktu lain yang mengantarku kembali ke sini. Besok saya harus mencari oleh-oleh, karena hari lusa saya harus segera kembali ke Jakarta.

Kereta api ‘gaya baru malam’ pukul 21 terjadwal mengantarkan saya kembali ke Jakarta. Saya berkemas, juga tak lupa berpamitan dengan teman-teman di sini, yang sudah menjadikan saya bak tamu agung. Sore sebelum keberangkatan, saya menyempatkan diri mengunjungi salahsatu benteng peninggalan VOC Belanda yang kini sudah menjadi museum. Benteng Vradeburg. Benteng yang dibangun tahun 1765 sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan gubernur Belanda saat itu. Letaknya bersebelahan dengan Monumen Serangan Umum 1 Maret. Hari itu kebetulan sedang ada acara Festival Kesenian Yogyakarta yang sudah berlangsung sejak beberapa hari lalu. Menyempatkan diri berkeliling sebentar, tidak cukup waktu untuk menuruti rasa penasaran. Tidak baik terburu-buru, maka baiknya saya bersiap menuju Stasiun K.A Lempuyangan. Ditemani gerimis, Wida dan vespa hijaunya. Hmmm, mugi pinangggeh malih .. Jogja!!

1. Jl. Kenekan. Kawasan ini masih masuk dalam wilayah Kraton. Masyarakat yang ada dalam lingkungan ini adalah yang masih punya silsilah keluarga Kraton Yogyakarta (jeron benteng).

2. TransJogja. Salahsatu transportasi yang merupakan bagian dari program Bus Rapid Transit (BRT) yang dicanangkan Departemen Perhubungan pemerintah setempat, untuk mengurangi dampak kemacetan. (Hemm, solusi tepat buat kota yang tidak begitu besar dan berpenduduk 3. 434.534 jiwa (tercatat thn 2007).

3. Gunung Kidul, terletak di bagian selatan (kidul) dari kota Yogyakarta, sebagai salahsatu gunung yang terdapat di pegunungan sewu. Disebut gunung sewu, karena terdiri dari banyak (sewu) gunung yang ada di sana.

4. pedding : istilah untuk pelindung tali agar tidak bergesekan dengan tebing atau batuan cadas di sekitarnya, yang dapat menyebabkan tali rusak atau mungkin putus.

5. Gua Seropan : (horizontal : memiliki sungai bawah tanah dengan arus yang cukup kuat, dan air terjun sekitar 7-8 m ,di dalamnya terdapat endapan fosil-fosil purba, juga telah di manfaatkan oleh Pemda setempat (PDAM) untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat sekitar.

6. Candi Borobudur : berjumlah 6 tingkat atau bila dihitung berdasarkan dinding dan langkan berjumlah 10 tingkat yang menggambarkan 10 tingkatan Boddhisattva yang harus dilalui mencapai kesempurnaan menjadi Buddha; terdiri dari beberapa stupa; 3 berbentuk bujur sangkar dan 3 berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama yang menjadi puncaknya.

7. Karmawibhangga : Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup – mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
Lalitawistara : Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka/Awadana : Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha : Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari. sumber: (http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur)











0 comments:

Post a Comment