10.8.11

Sawit, Solusi Masalah atau Awal Bencana (jejak 3)

Mati Seribu Pohon, Tumbuh Sejuta Sawit 
Tidak dapat dipungkiri bahwa wacana akan pemanasan global yang semakin tahun semakin meningkat adalah isu penting di setiap negara. Tidak terkecuali di Indonesia yang mempunyai kawasan hutan tropika sekitar 93,92 juta hektar (hasil penetapan luas kawasan hutan oleh Dept. Kehutanan tahun 2005). Papua adalah daerah yang mempunyai kawasan hutan yang paling luas (32,36 juta ha), lalu Kalimantan (28,23 juta ha), Sumatera (14,65 juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta ha), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta ha). Keseluruhan hutan ini merupakan tenaga yang dibutuhkan oleh bumi khususnya di negara kita untuk mengikat emisi karbon sebagai tersangka utama penyebab pemanasan global. Sayangnya, hal ini cuma seakan menjadi penambah wawasan saja bagi beberapa orang yang berpikiran ‘sedikit’ skeptis. Akhirnya, dengan mengatasnamakan perekonomian dan kesejahteraan rakyat,
juga meningkatnya permintaan minyak sawit dunia, maka pembukaan lahan untuk perkebunan sawit tak dapat dielakkan. Hutan dikorbankan untuk merealisasikan pembukaan lahan perkebunan sawit. Alih fungsi hutan menjadi pemicu yang signifikan. Pertanyaannya sekarang adalah, kita harus memilih antara pelestarian hutan adalah sebuah mimpi indah atau tetap ‘keukeh’ berada di bawah iming-iming kesejahteraan dengan cara alih fungsi hutan menjadi kebun sawit yang merupakan mimpi buruk di masa datang? Bagi masyarakat awam yang kehidupannya bergantung pada perkebunan semacam ini, tentu saja tidak masalah bagi mereka. “semenjak adanya perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerah ini (desa leling), kami sangat diuntungkan oleh pihak perusahaan. Tanah kami yang dulunya tak terurus, sekarang malah menjadi investasi kami di masa depan. Ini semua berkat program mitra yang dicanangkan oleh perusahaan untuk masyarakat” jelas Pak Wayan salah seorang warga Kalkulassan, transmigran dari Bali sejak tahun 1993. Andai saja lebih dari setengah jumlah penduduk yang ada di desa leling dan kalkulassan berpikiran sama dengan Pak Wayan, maka mungkin saja tanah yang mereka punyai akan dimitrakan dan disulap menjadi lahan kebun sawit oleh perusahaan. Ternyata tidak semua masyarakat bisa menikmati keuntungan seperti yang dirasakan oleh Pak Wayan dan pendududuk desa lainnya. Tidak semua warga mempunyai tanah  yang bisa disewakan ke perusahaan, yaitu minimal 1 kapling (2 ha). Kalau sudah begini, demi perluasan lahan perkebunan, lahan gambut ataupun hutan sudah mesti jadi calon lahan baru. Melihat dari beberapa kejadian serupa di beberapa kawasan perkebunan sawit di Indonesia, hal yang tidak lain dilakukan, ‘mungkin’, pengalihan fungsi hutan (lagi—lagi menjadi sasaran). Mengorbankan seribu pohon demi sejuta sawit. Ini adalah dilema yang harus dihadapi. Di satu sisi, perkebunan kelapa sawit dapat berguna untuk menambah pendapatan daerah demi kemakmuran masyarakat, sisi lainnya, kawasan hutan juga perlu dilestarikan dan dijaga untuk mengendalikan sistem kehidupan di bumi. Tinggal bagaimana pihak pemerintah sebagai pemegang kebijakan utama dapat mengelola keputusan sebaik-baiknya. Dengan tidak melupakan berbagai sektor dan stakehoulder yang ada untuk bekerja secara bersama-sama demi menjadikan bumi Indonesia lebih baik.

0 comments:

Post a Comment