28.10.08

Pesona " The Tower " Karst Maros-Pangkep


Gugusan kars di daerah Maros-Pangkep yang dinamai “Tower” kars oleh para ilmuwan karena keindahannya menyerupai menara [foto diambil dari artikel Cahyo Rachmadi Puslitbang LIPI]

Saat itu sekitar pertengahan tahun lalu. Perjalanan saya dimulai dari sebuah pertemuan singkat dengan seorang mahasiswa S3 yang baru saja datang ke kota ini dalam rangka mengumpulkan data penelitian untuk gelar Doktornya di Institut Pertanian Bogor (IPB). Sistem Pengelolaan Kawasan Kars Maros-Pangkep Secara Berkelanjutan, proposal Disertasi oleh Rachman Kurniawan, yang juga salahsatu staf pengajar di jurusan saya. Saya pun ditawari mengambil salahsatu sub bagian penelitiannya sebagai tugas akhir tentang analisis hidro-geologi kawasan kars di kawasan taman nasional Bantimurung-Bulusaraung. Sebenarnya, saya tidak sepenuh hati menyetujui tawaran tersebut, maklum hidro-geologi adalah hal baru yang ada di dalam kepala saya. Selama ini saya terperangkap dalam ‘situasi umum’ mahasiswa yang mengejar pengetahuan yang katanya dapat menghasilkan uang banyak. Bekerja pada sebuah perusahaan besar yang mengandalkan skill/kemampuan di bidangnya. Biasanya perusahaan yang bergerak di bidang tambanglah yang banyak membutuhkan lulusan seperti itu. Seminggu kemudian, saya pun diajak untuk road to target sebagai survey awal. Sambil berkeliling di sekitar kawasan kars di dua kabupaten tadi, tak lupa kami mengabadikannya dengan shot’s kamera digital dan sebuah handycam. Kegiatan yang dinamakan survey awal tadi berlangsung selama beberapa bulan.
Mungkin seperti kata pepatah ‘tak kenal maka tak sayang’, saya pun sadar klo ternyata selama perjalanan beberapa bulan mengamati kawasan kars ini saya mulai dibuatnya jatuh hati karena “keindahan’ gugusan batu yang tampak hijau dari kejauhan ini.
Sebelumnya, mungkin baiknya saya bercerita sedikit tentang keindahan gugusan kars yang membuat saya jatuh hati…
Gugusan kars yang terletak di daerah Maros-Pangkep Sulawesi Selatan ini adalah keindahan dan kekayaan bumi yang sangatlah jarang diperhatikan oleh orang banyak. Hanya beberapa orang yang mempunyai kepentingan dan kepedulian yang tahu akan keberadaannya. Mulai dari para ilmuwan/peneliti dari pihak akademisi, pecinta alam khususnya yang menggeluti kegiatan susur gua (caver), penduduk setempat di sekitaran kawasan tersebut yang menggantungkan hidup dari keberadaan kawasan ini : dari kebutuhan sumber air bersih (minum, mencuci, dan pengairan sawah), juga menjadi penopang nafkah para kaum laki-laki (walau tidak sedikit para kaum perempuan) dengan menjadi buruh di beberapa perusahaan yang berdiri disana:, hingga para praktisi pemerintah yang notabene adalah pemegang kebijakan utama.
Kars begitulah disebutnya, adalah singkapan batu gamping yang membentuk tipe kars tersendiri yaitu bangun menara yang sangat khas, yang para ilmuwan menjulukinya tower karst, dengan bukit-bukit berlereng terjal (yang sebagian genesanya dipengaruhi oleh struktur geologi sebagai akibat dari proses pelarutan batu gamping/karbonat (karstifikasi/residual kars). Kawasan kars Maros-Pangkep diketahui memiliki sistem aliran air/hidrologi yang tampak di atas permukaan (sungai permukaan) dan juga mengalir di bawah permukaan (sungai bawah permukaan), menjadikan fenomena tersendiri kawasan ini. Suatu bentang alam formasi batuan karbonat (CaCO3, MgCO3 atau campuran keduanya) yang telah mengalami proses pelarutan. Batuan karbonat terlarut oleh asam karbonat (H2CO3) yang terbentuk akibat interaksi air hujan dengan CO2 atmosferik maupun oleh CO2 biogenik, yang berasal dari sisa tanaman yang membusuk (humus) di atas permukaan tanah. Proses pembentukan kars atau karstifikasi itu sendiri juga dikontrol oleh litologi, porositas/permeabilitas, iklim (curah hujan), penutupan lahan(vegetasi), dan aktifitas tektonik, dimana kesemuanya saling berinteraksi dalam proses pembentukan kars.
Sebenarnya sayapun termasuk orang baru mendengar tentang kars. Cikal bakal dari penulisan tugas akhir yang sampai sekarang senantiasa membuat saya ketagihan untuk memahaminya (hehehe). Dengan segala kerumitan pembentukannya dan ’misteri’ keberadaannya, kawasan ini telah membuka mata dunia tentang keindahan serta potensi yang terkandung di dalamnya. Bila anda sedang berada dalam perjalanan ke arah utara dari kota Makassar, cobalah melempar pandangan sepanjang perjalanan anda di sebelah kanan. Lihatlah gugusan kars yang membentengi kawasan nasional Bantimurung – Bulusaraung seakan membentuk sebuah istana batu dengan menara hijau yang membersitkan kesan sepertinya kita sedang berada dalam sebuah perjalanan wisata, hanya bedanya kita tidak dipandu oleh seorang guide tour. Untuk itulah sebagai sumberdaya alam, kawasan batugamping berbentangalam kars bersifat tidak dapat diperbarui (unrenewable resources) dan memiliki nilai kerentanan lingkungannya yang sangat tinggi, International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada pertengahan 1997 menempatkan masalah kars menjadi isu lingkungan internasional. Dalam waktu yang bersamaan diterbitkan pedoman mengenai kegiatan usaha pengelolaan gua dan kars. Pedoman itu diterbitkan dalam berbagai bahasa, bahkan sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Para ilmuwan dan pemerhati lingkungan kars dan gua internasional menetapkan beberapa kawasan kars di Indonesia memiliki peringkat dunia karena kandungan nilai strategisnya. Dari aspek bentangalam, conical karst di Gunung Sewu (Jawa), tower karst di Maros (Sulawesi), archeological karst di Sangkulirang (Kalimantan Timur), dan highland karst di Taman Nasional Lorentz (Irian Jaya). Pertemuan IUCN di Mulu, Serawak Malaysia, tahun 2001 menominasikan Kars Gunung Sewu, Kars Sangkulirang, Kars Maros, dan Kars Lorentz menjadi kawasan alam warisan dunia atau world heritage. Sebuah warisan yang tak ternilai harganya, yang secara -tidak sengaja- saya diberikan amanah untuk menjaga warisan tersebut. Save Our Kars!!

Sumber : beberapa artikel/jurnal ilmiah yang juga pustaka penyusun skripsi saya yang berjudul “Analisis Dinamika Hidrogeologi Kawasan Kars Maros-Pangkep”

COMMENT ON FACEBOOK












0 comments:

Post a Comment