11.1.10

Aku dan Waktu




Sudah sepuluh hari berlalu dari pergantian tahun. Hari ini tepat saatnya usiaku yang berganti. Dan, seperti kebanyakan orang saya memilih untuk menjadi dewasa meski begitu saya tidak dapat menghindari apa yang dinamai ‘menjadi tua’ suatu hari kelak. Katanya, seiring usia bertambah, semakin sedikit waktu yang kita punya. Alih-alih berpikir untuk membuat rencana-rencana ke depannya, saya malah mengurangi keinginan-keinginan yang jauh-jauh hari sudah saya rancang. Sebabnya, saya sedikit tergelitik ketika membaca quote dari seorang filsuf - Friedrich Nietzsche – yang dalam filosofi ke-kosongannya (nihilisme nietzchean), sang filsuf dituduh telah membunuh Tuhan karena telah mengingkari konsep perjalanan waktu yang tertera di kitab-kitab suci dengan mengatakan :

T
ak ada yang benar-benar baru di bawah matahari. Apa yang menjadi masa lalu akan terulang lagi di masa depan. Begitu manusia lahir ke muka bumi, ia harus menjalani apa yang sudah pernah dijalani manusia-manusia sebelumnya. -Nietzche-

Dengan menentang teori perjalanan waktu, dia menggagas pertanyaan apakah waktu membentang linear antara Hari Penciptaan dan Hari Akhir? Tidak, waktu melingkar mempertemukan jalan-menuju masa lalu dan jalan-menuju masa depan tepat di gerbang waktu, pada titik dimana manusia berdiri. Dan di atas gerbang waktu itu kita bisa membaca tulisan “Saat”. Hingga kita pun akan terjebak pada pemikiran bahwa, karena tidak ada yang baru maka hari akhir pun sudah di pastikan tidak ada. Lain Nietzche bedapula dengan Emmanuelle Levinas seorang yang juga filsuf, mencoba mendefinisikan waktu sebagai sesuatu dimana ‘mengada’ yang tak terbatas dihasilkan, melampaui yang tak mungkin. Pada pemikiran Levinas, waktu direntang sedemikian rupa menuju masa depan yang terbatas, namun akan segera datang, dan kedatangannya tidak dapat diduga. Itulah eskhaton. Waktu eskatologis memelarkan waktu yang kita alami dengan menundanya hingga batas tak tentu di masa depan yang jauh dan benar-benar tidak dapat kita rengkuh. Dalam tradisi religius diidentikkan dengan “hari akhir/kiamat”.
Sebagai seorang yang bukan siapa-siapa, saya hanya dapat mengartikan waktu ( mutlak ataupun sesuatu yang relatif) sebagai pinjaman usia atau kontrak hidup makhluk terhadap Penciptanya. Yang dengan cara kita sendiri- tak terlepas dari suratan takdir yang menggantung di atas sana – harus bisa memanfaatkan setiap saat menjadikannya berarti, sekarang atau besok. Dalam perjalanan hidup, meski tak ada yang baru di bawah matahari, tetapi kita selalu bisa menemukan misteri yang uncanny ; “- sebuah penggambaran suasana tertentu oleh Sigmun Freud yang bersifat tak pasti ; indah sekaligus menggetarkan ; sesuatu yang membuat manusia berhadapan dengan ke-luarbiasaan di bawah rembulan –” Audifax dalam Psike, dari semua rencana yang sudah saya masukkan dalam list singkat (karena sudah dikurangi) lalu tinggal menunggu rembulan itu tiba, dan biarkan saja Nietzche dengan filosofinya, karna saya juga percaya ‘akan datang sesuatu yang luar biasa di bawah rembulan’

0 comments:

Post a Comment