9.4.10

Dia Sebut Jelita (2)

Dia menarik udara dengan tegas, lalu menghembusnya perlahan. sejenak menghadap langit, entah apa maksudnya, lalu berangkat, dengan semilir senyum terpatri, rona di wajahnya, terkaca di matanya.

Tidak begitu lama, seperti kebanyakan. setelah dia kembali, merasa siap, dan dia menceritakan kepadaku tentang pertemuannya tadi :

“..setelah saya sampai di sana, seorang perempuan, dengan kemeja panjang merah jambu, berkerudung yang juga merah jambu, kulitnya putih bak awan yang terhindar mendung, dengan balutan sweeter abuabu, rok lebar memanjang sedikit melewati lututnya, bermotif campuran kotak dan bunga warna-warni, mendekat menghampiriku. Tak butuh waktu lama untuk saling mengenali, juga basa-basi berpura-pura banyak tanya. Kami memang sudah akrab, karib sekali, jauh sebelum kami Dipertemukan hari ini. Cukup lama kami berhadapan. Cukup lama saya menatapnya, cukup lama dia menunduk. Dia tersipu, saya gembira kalau dia begitu. Hanya satu dua kata yang diucapkannya, ‘hi’ dan ‘apa kabar?’, lalu saya mengulangi pertanyaan yang sama, ‘hi’.. ‘apa kabar juga?’ ..

Begitu banyak orang yang berlalu lalang di situ, puluhan, mungkin ratusan. Dari bapak-ibu yang membawa serta anaknya berjalan-jalan, muda-mudi yang memadu kasih, remaja abg yang berbaju ketat seperti tak kenal malu. Semuanya sibuk, bergerak, kesana-kemari, lalu-lalang, kecuali saya, dan dia, yang sekarang berdiri di sampingku. Sebentar-sebentar menoleh padaku, sebentar-sebentar tersipu, lalu menunduk lagi. Menoleh lagi, tersipu lagi, menunduk lagi.

Setelah cukup lama kami berdiri bersisian, tanpa saling banyak bicara, hanya bergantian pandang, bergantian menunduk, bergantian tersipu, kami sepakat melihat-lihat sekeliling, beriringan tapi tak berpegangan, mencari tempat yang tidak merusak suasana nyaman itu. “kita cari tempat ngobrol ’ yuk?” ajakku, sambil menunjuk ke dalam resto yang dari luarnya terdengar alunan lagu dari Led Zeppelin-Stairway to Heaven- diiringi sebuah band indie, dia cuma tersenyum, melihatku sebentar lalu menunduk, mengangguk. Sekali lagi dia tersipu. Dia lebih banyak tersenyum daripada bicara. Dia suka begitu, dan saya sangat suka bila dia begitu. Dia tampak sangat anggun bila begitu.

Di tempat itu kami bertukar cerita, tentang keluarga, hobi, buku, sejarah, musik, makanan, kota-kota tua, gunung-gunung, musik, museum, fotografi, lukisan, bunga, beda dokar dengan gerobak?, mengapa banteng benci dengan warna merah?, bagaimana terjadinya gempa?, apa itu pangea?, arah rasi bintang?, mengapa langit berwarna biru?, bergunakah minum kopi?, siapa sebenarnya Tan Malaka?, dan banyak lagi. Seperti mengulang deretan tanya jawab yang dulu hanya bisa kami lakukan lewat pesan singkat di hp. Menyimak pembicaraan satu sama lain. Beberapakali kudapati tatapannya, entah berapa banyak kudapati dia tersipu, tetap sambil menunduk, dengan menerbitkan senyumnya ..lagi”

Belakangan, siang sebelum temanku berangkat ke Jakarta, dia mengajakku bertemu dengan perempuan yang senang ia ceritakan itu. Khaidir mengenalkanku seseorang yang akan mengantarnya ke bandara. namanya St. Alfiah Fathy Bazar'ah, mahasiswi tingkat akhir yang dua bulan kedepan segera menjadi seorang Sarjana Sastra. hari itu cerah, dan Alfiah memakai kerudung biru muda, lalu seperti terbayang di pikiranku cerita Khaidir saat mereka memutuskan bertemu. tangannya sungguh lembut, putih. wajahnya jangan ditanya., mempesona! agak lebih tinggi dari temanku. Aliah seakan tidak rela melepaskan lingkaran tangannya dari lengan Khaidir. “Ah, sungguh nama yang pernah kau sematkan pada perempuan ini tidak salah teman!”, bisikku pelan tapi yakin. bidadari manapun pasti malu bila mendapat sebutan itu di sanding Alfiah. Sebuah kata, yang pantas tersemat hanya untuknya. St. Alfiah Fathy Bazar'ah .. tunggu temanku kembali, Jelita!!

0 comments:

Post a Comment