23.5.10

Suami Dari Ibumu

Aku pembohong katamu. Kamu sudah tidak percaya padaku. Aku berusaha tenang. Aku bilang sabar, dengarkan dulu. Kamu tetap meronta. Tidak bisa sabar. Tidak mau mendengar. Kamu masih teriak, histeris. Aku mendekapmu. Aku bilang sayang padamu. Kamu juga mendekapku. Kamu bilang juga sayang padaku. Aku menciummu. Kamu menciumku. Di pipi lalu di dahi. Lalu kita terdiam. Seakan mendengar bisikan, lalu memulainya kembali. Aku memang bodoh. Kamu juga bodoh. Kita berdua bodoh. Sama-sama bodoh.

Malam semakin larut. Di luar, angin semakin kencang. Lalu hujan. Dan petir. Tapi suaramu meninggi, memekik telinga, semakin lama meninggi, mengalahkan suara angin, suara hujan, suara petir. Cuma denting jam yang sedikit menutupi suaramu., TENG!! tepat pukul 1. Kamu tersentak, aku tidak. aku tetap melanjutkan, tak peduli, semakin mengJustify Fullgebu, bergelora dengan peluh berburu dengan nafasmu. kamu terlanjur tergoda, suaramu semakin jelas terdengar, seperti lolongan serigala bulan purnama, meski kamu sudah bilang hentikan dengan wajahmu yang memelas. Kamu bertanya, sampai kapan kita jalani hubungan ini? aku diam. tak menjawab. Takut.
-----------
Dulu, ketika pertama kali kami bertemu, di sebuah kafe’ yang letaknya persis di sudut jalan. Meja kami bersebelahan. Dia duduk dengan seorang teman laki-lakinya. Aku duduk sendiri, menunggu seorang teman perempuanku. Mereka tampak tidak begitu mesra, seperti kebanyakan pasangan di tempat itu. Tiba-tiba lelaki itu pergi dengan wajah marah dan bosan. Meninggalkannya sendiri. Meninggalkan titik hitam di sore itu. Kelihatan sekali kesedihan terpaut di wajahnya. Tinggallah dia kini. Aku mendekat, mencoba menghibur. Dia sangat cantik, masih begitu belia saat itu. Aku bilang kamu tak pantas bersedih, tak pantas disakiti. Itu dulu, saat itu.

Aku bisa menghiburnya, membuat dia tertawa, meski titik-titik air masih menggelantung di sudut matanya. Dia tersenyum, disirami cahaya matahari senja yang masuk menyelinap di sela-sela daun pohon cemara tak jauh dari situ. Kesedihannya seperti terbawa angin sore yang sepi, sore yang berwarna kemerahan. Dia bilang baru putus dengan laki-laki yang bersamanya tadi. Dia benci semua laki-laki. Termasuk laki-laki yang dulu mencampakkan ibunya. Laki-laki yang yang tidak memberinya kebahagian semasa kanak-kanak. Aku laki-laki, tapi bukan laki-laki yang dia benci. Dulu, saat itu.

Dia bangkit dari kursinya. Harus pulang, ibunya sedang tidak berada di rumah. Ibunya sedang menemui seseorang katanya. Seorang laki-laki. Laki-laki yang sedang dekat dengan ibunya. Dia menjabat tanganku. Memberiku senyuman, lengkap dengan kartu namanya. Dia berbalik sebentar, tanpa lambaian tangan. Semakin lama menjauh, perlahan menghilang di telan gelap, seperti malam meninggalkan senja. Kami berpisah, beberapa menit sebelum teman perempuanku datang.
-------------
Kita masih punya waktu. Biarkan jadi rahasia. Rahasia aku dan kamu. Aku tergugu. Lurus memandangmu. Kamu menghindari, menolehkan pandang ke luar jendela, mengikuti benang-benang tipis rintik hujan. Menangis. Menyesali hari-hari yang telah lalu bersamaku, juga hari ini. Kita tak boleh terus begini, katamu. Aku menunduk tak berkata. Kamu membelai. Mulai mencumbuku lagi. Kita kembali dalam gelap yang sebentar lagi berganti.

Kenapa selalu saja ada cerita sedih yang melengkapi hidupku? Tidak dulu hingga saat ini. Mengapa nasib begitu kejam berlakukanku. Dunia ini sungguh tak adil! Mengapa harus aku? Mengapa harus Ibuku? Protesmu terlontar bagai peluru di medan perang.


Lalu di suatu hari sebelum berganti malam, kita kembali bertemu. Kamu sudah menyelesaikan kuliahmu. Sejak 2 tahun lalu, kamu meninggalkan rumah dengan alasan itu. Sejak kamu tahu aku memanggil ibumu ‘istri’. Sejak kamu harus memanggilku ‘Bapak’. Sejak aku telah menjadi suami dari Ibumu.

:by inspired ‘AYAH’ –Avianti Armand-

0 comments:

Post a Comment