23.6.10

Jengah

Sebentar lagi senja. Malam dengan gelapnya segera menjemput matahari yang memudar warna di kejauhan. Seperti pasukan iblis berjubah hitam merayu para bidadari berkulit putih. Putih, seperti lembut tangannya, pun masih jelas terasa, juga bagaimana tidak sederhana raut wajahnya. Bergaris tegas keanggunan. Bercak air matanya kini telah lama mengering. Menyimpan jejak sungai yang tidak lagi beriak pada asanya yang mulai memupus.

“Ahh, aku sudah lelah..” pikirku..

Menunggunya tanpa ada sebuah kepastian. Tak ada kabar suara ataupun berita dalam hamburan kata-kata. Haruskah aku sampai berdarah-darah? Tidak, saya takut akan darah dan juga warna merah. Tidak untuk baju warna merah yang dia pakai dalam bingkai foto kesukaan ku. Bukan berarti aku mau berhenti berkelahi dengan mimpi tentangnya. Di sini, di mana matahari sudah menghilang sejak berjam-jam yang lalu, aku berdiri. Menantang malam dan sunyi. Enggan berkedip lewatkan setiap kelipnya. Pada cakrawala tak berbatas, terbersit harap dia menyimpan rahasianya untuk ku.

“kapan kamu datang?”
“mungkin, tidak lagi..aku sedang banyak masalah”
“kalau begitu kita selesaikan bersama”
“tidak usah, biar aku sendiri selesaikan dengan cara ku”

Lalu kubiarkan potongan potongan mozaik ku berhambur dalam rentang ruang-ruang dan waktu. Dan nanti, ku kumpulkan satu per satu dalam pengelanaan menemukannya, pun akhirnya menjadi potongan mozaik ku yang hilang.

“sini, dekatkan telinga mu..coba dengar ini..”
“hmm, seperti pernah dengar..” lalu tertawa berbahak-bahak
“izinkan aku menyanyikannya untuk mu..”
“dengan senang hati, boleh..”

Entah berapa ribu kali ku putar lagu itu. Lagu yang pernah dia berikan di suatu siang, sejak sebelumnya dia menyanyikannya untuk ku di penghujung malam. Berbaris-baris lirik menyerupa suasana ketika senja dengan warna jingga. Dia begitu menyukainya. Katanya senja itu hangat. Sehangat jika berada di sampingku.

“menurutmu, apa kita berjodoh?”
“hmm..entahlah.. coba kita cek di gemintang.com. ayo, sini kuantar ke warnet..”

Lelah hingga mulai jengah. Tapi kadang kupikir ini sudah semestinya, berjalan dalam semesta ku yang kecil. Karena dunia enggan menguak misteri pada pijak kaki di bawah hamparan langit yang terkadang tidak memberi keramahan atas sebuah rasa, padanya perempuan aneh yang ingin ku berikan berjuta bintang juga pelangi ku, sudah mengguncang-guncang jiwa juga pikir ku hingga rasanya seperti mabuk berkepanjangan, pergi tidak mencium kedua pipi ku terlebih dulu!!

0 comments:

Post a Comment