Aku tahu, kamu sangat menyukai sepak bola. Semua waktu akan kamu berikan padaku jika perlu, asal saja bukan pada waktu kamu menyaksikan tim kesayanganmu bermain. Adalah Spanyol, tim dari negeri para matador, salahsatu tim terbaik dunia yang juga juara Piala Eropa di tahun 2008. Katamu, selain karena gaya sepak bolanya yang indah, juga karena negeri ini memiliki landscap alam yang menarik, bangunan sejarah yang mengagumkan, dan tempat—tempat wisata yang sangat ingin kamu jelajahi karena keeksotisannya. Dari ceritamu, kini aku banyak tahu tentang negara dengan ibukota Madrid ini. Sebut saja kota Barcelona, kota yang dijuluki kota paling gaya di dataran Eropa setelah Paris di Perancis dan Milan di Italia. Kota yang modern tapi kental dengan sentuhan tradisional ala Mediteranian dan Catalonia. Meski bukan seorang seniman, kamu adalah salahsatu penikmat karya –karya Pablo Ruiz Picasso. Museum Picasso di Montcada adalah salahsatu tempat wisata yang kamu masukkan dalam daftar “tempat-tempat yang harus kamu datangi sebelum mati” . Begitu kamu mengidolakan negara ini, dari budayanya, tempat wisatanya, sampai tim sepakbolanya. Di tim sepakbolanya, kamu sangat mengagumi salah seorang pemain di sana. Aku tahu, kamu mengaguminya karena kamu merasa punya kesamaan dengannya. Pribadinya yang menawan, meski dia seorang yang terkenal tapi selalu rendah hati. Tidak begitu menyukai kehidupan glamour, seperti kebanyakan pesepakbola. Sebenarnya, kamu tak tahu. Jauh sebelum aku mengenalmu, aku juga begitu mengagumi negeri Spanyol. Dari para matadornya, museum dan seni artistik kotanya, dan juga karena aku salahsatu penggemar Barcelona FC. Aku juga menyukai sosok pemain yang kamu kagumi. Ya, semua tentangnya.
Dulu sewaktu pertama kali kita bertemu di sebuah kafé yang menjadi markas para culés atau Catalans, julukan penggemar Barcelona, kala itu sedang diadakan nonton bareng Piala Dunia 2010 yang berlangsung di Afrika selatan. Sebulan yang lalu, ketika Spanyol versus Portugal di babak enam belas besar. Tim kesayangan kita menang 1-0 atas Portugal. Begitu senangnya, hingga kamu menari-nari, berjingkrak-jingkrak, bernyanyi dengan mengepal kedua tanganmu di udara. Kamu tidak sengaja menumpahkan orange jus dari gelasku yang masih setengah. Kamu minta maaf, lalu mengambilkan tisu di atas meja. Aku sedikit kesal waktu itu, tapi euforia kemenangan yang terasa membuatku urungkan niat. Mukamu memelas, aku bergidik, tergugu tak bicara. Aku cuma bisa tersenyum. Ketika pulang, kamu menawarkan untuk mengantarku pulang sebagai permintaan maaf. Padahal aku datang ke sana dengan beberapa teman, tapi aku mengangguk setuju. Entah kenapa. Aku tak tahu. Dalam perjalanan kita mencoba akrab, aku tahu namamu, kamu tahu namaku. Nomor handphone, juga alamat rumah. Biasanya aku tidak menghiraukan seseorang yang baru aku kenal. Tapi waktu itu, aku seolah terhipnosis, entah kamu dengan mantra atau magi, dan itu berhasil. Aku luluh. Entah kenapa. Aku tak tahu.
Aku tahu kamu menyukaiku. Kamu juga begitu, tahu kalau aku juga suka padamu. Tak perlu mencari alasannya, karena aku tahu bila menanyakannya, kamu akan bilang “entah kenapa, entah darimana, entah sejak kapan. Cinta bisa hadir kapan dan dimana saja”. Begitulah cintaku dan cintamu. Berawal dari sebuah pertemuan singkat demi mendukung Spanyol, lalu rasa itu muncul dengan sendirinya. Karena hati ini sudah memilihmu. Juga pikiran yang tak hentinya melayang denganmu. Meski nanti Spanyol tidak menjadi juara, tapi kamu sudah jadi pemenang di hatiku. Karena Aku Cinta Kamu Bukan Karena Spanyol.
Aku tahu kamu menyukaiku. Kamu juga begitu, tahu kalau aku juga suka padamu. Tak perlu mencari alasannya, karena aku tahu bila menanyakannya, kamu akan bilang “entah kenapa, entah darimana, entah sejak kapan. Cinta bisa hadir kapan dan dimana saja”. Begitulah cintaku dan cintamu. Berawal dari sebuah pertemuan singkat demi mendukung Spanyol, lalu rasa itu muncul dengan sendirinya. Karena hati ini sudah memilihmu. Juga pikiran yang tak hentinya melayang denganmu. Meski nanti Spanyol tidak menjadi juara, tapi kamu sudah jadi pemenang di hatiku. Karena Aku Cinta Kamu Bukan Karena Spanyol.
0 comments:
Post a Comment