"Menurut para ahli fiqih, keputusan waliyyul amri atau hakim syar'i/pemerintah, yarfa'ul khilaf, menyelesaikan perpecahan. Secara sederhana, hukum fiqh terbagi 2, yaitu urusan privat & urusan publik. Kita boleh berbeda dalam mengamalkan hukum-hukum fiqh yg berkaitan dg urusan privat, seperti wudhu, shalat, puasa, bahkan haji boleh kita lakukan sesuai mazhab masing-masing.
Tapi ketika ibadah sudah memasuki wilayah publik, kita tidak boleh ikhtilaf. Demi kepastian hukum dan ketertiban umum. Mazhab-mazhab yang berbeda menetapkan hari wukuf di Arafah yang juga berbeda-beda. Tapi ketika Kerajaan Saudi menetapkan hari wukuf (misalnya Kamis), maka seluruh jamaah haji mematuhi. Apapun mazhabnya. Syiah & Sunni wukuf pada hari yang sama. Bisa anda bayangkan apa yang terjadi sekiranya tiap mazhab bertahan dengan keputusan yang berbeda-beda? Bayangkan kacau balaunya ibadah haji karena dua kali wukuf, dua kali melempar jumrah, dst." (Dikutip dari penjelasan Prof DR Jalaluddin Rakhmat, Ketua Dewan Syura IJABI)
Hilal adalah penampakan bulan dengan mata telanjang yang paling awal terlihat menghadap bumi setelah bulan mengalami konjungsi atau peristiwa yang terjadi saat jarak sudut (elongasi) suatu benda dengan benda lainnya sama dengan nol derajat. Dalam pendekatan astronomi, konjungsi merupakan peristiwa saat matahari dan bulan berada segaris di bidang ekliptika yang sama. Ini salahsatu kriteria hisab suatu awal bulan. Penentuannyapun selalu selalu saja menuai berbagai pendapat. Hal yang menjadi penting karena sudah menyangkut keyakinan dan fiqh kepentingan orang banyak. Terdapat dua metode yang biasa dilakukan dalam penetapannya, yakni metode Rukyat dan Hisab.
Rukyah : Metode pandangan mata
Hisab : Metode perhitungan matematik astronomi
Rukyah (/t) adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyah dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop dan dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah. Hisab secara harfiah, bermakna perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah.
“Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya (Q.S 10:5)”.“matahari dan bulan beredar menurut perhitungan (Q.S 55:5)”
Perbedaan Kriteria
Kriteria penentuan awal bulan kalender Hijriyah yang berbeda sudah seringkali kita temui di Indonesia. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri. Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:
Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)". Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.
Wujudul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam. Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 Persis sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi hanya dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 39-40.
Imkanur Rukyah
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika; Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau pada saat bulan terbenam, usia bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Merujuk pada fatwa Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, bahwa dalam penetapan tanggal 1 Bulan Ramadhan dan Bulan Syawal kita harus mengikuti Keputusan Hakim Syar'i di negeri masing-masing (dalam hal ini, di Indonesia adalah Pemerintah Republik Indonesia c.q. Kementerian Agama).
Bagaimanapun, saya hanya sekedar ingin tahu, lalu mencari tahu dan berbagi. Sedikit terusik dengan sidang Itsbat tadi malam, dimana orang-orang seakan menjadikan sidang itu sebagai ajang pamer ilmu dan iman., ujungnya hanya akan ada perdebatan tanpa pemahaman dan kesepakatan yang membingungkan. Saya serasa ingin lari ke negeri Iran dan segera bertanya pada Ayatullah Sayyid Ali Khamenei : "Bagaimana kalau di negara saya Hakim Syar'inya juga tidak tahu apaapa ? Mereka hanya tahu berdebat di sidang Itsbat memamerkan ilmu masing-masing.."
sumber: wikipedia
sumber: wikipedia
0 comments:
Post a Comment