21.8.11

Pagi

i don’t like Morning
Penanda waktu menunjukkan pukul 5.30. Pagi. Beradu dengan gemuruh hujan di luar sana. Azan subuh diperdengarkan beberapa menit lalu. Enggan rasanya membuka mata. Melepas hangat kantung tidur berpisah dengan tubuhku yang kecil. Serasa inilah waktu dimana pikiran memasuki zona nyamannya. Saat dimana pikiran leluasa beristirahat dari semua penat. Matahari di balik bukit sedang bersiap. Mengintipku dari kejauhan. Masih dengan hujan ini, pelangi enggan mempertontonkan warna warninya. Belum saatnya, langit sedang enggan melukis cakrawala. Sedikit menggerutu, “ahh.. gejala alam, begitu sibuknya kalian di pagi ini, sedang saya, terlelap memimpikan dia dengan kalian.

Sekitar 6 jam berlalu.
Sementara, proses penghangatan matahari sedang berlangsung di luar sana, meninggi hingga titik terik menghampiri tengah hari, saya mulai menyeduh segelas kopi. Hujan sudah mulai rintik. Sejam yang lalu, bersamaan dengan mataku mengeja seisi kamar. Nikmat rasanya menyantap kopi ini dengan sebatang ‘mini’, hidangan penutup sarapan yang sederhana. Dulu, cuma itu yang setia mengisi kekosongan dua tahun belakangan. Teman diskusi, sebutku. Tentang gelisah, tentang takut, tentang tanda tanya. 

Pagi. Saya jarang mendapatinya dengan mata sendiri. Katanya di waktu seperti itu saya bisa bertanya pada cermin matahari. Mengungkap perihal yang membuat isi kepala jadi tabu dengan hanya bertemunya setiap hari. Banyak hal yang terlewat di waktu ini. Morning sports spot khususnya. Atau sekedar bersiap dan merencanakan ‘daftar isi’ hari ini sambil menunggu terbitan baru matahari memantul-mantul di pecahan bola embun. Seperti kristal-kristal penghias hari. Nikmati sebagian tenaganya yang masih keluar separuh, sebelum benar-benar panas di tengah teriknya. Saya mengeja tanya, ternyata matahari tidak dapat apa apa. Sebagai ciptaan, sepertinya matahari memang melakukan tugas saja. Sepertinya saya harus sering-sering bertemu dengan pagi, sembari menikmati tugas matahari yang belum juga usai.
***
Nanti, saya mesti terbiasa, bagaimanapun caranya itu harus terjadi. Musim per-guruan yang lebih tinggi segera dimulai. Bakal banyak jurus yang harus saya pelajari sebelum membawanya turun gunung berkelana di rimba raya. Anggap saja penyempurnaan dari jurus pamungkas terdahulu yang belum sempat saya gunakan. Tertanam di kepala hingga akhirnya ditumbuhi semak belukar, prihatin!    

Untung saja saya punya ‘peri pengingat pagi’. Sayang,  dia kadang lupa. Sedang asik bergumul dengan mimpinya yang belum usai. Suatu hari, temani saya temui pagi !
















2 comments:

Unknown said...

Tulisan ini-pengantar menuju pagi.

RirinDwiAyu said...

indahnyaaa....

Post a Comment